JAKARTA. Dari 45 emiten yang menjadi anggota indeks LQ45, ada sepuluh emiten yang menunjukkan penurunan harga saham terdalam sepanjang lima tahun ke belakang.
Hingga perdagangan Jumat (23/8), emiten yang menduduki peringkat pertama kategori tersebut adalah PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) dengan penurunan harga saham mencapai 79,05% menjadi Rp 3.100 per saham.
Disusul oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dengan penurunan 65,31% dan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) yang turun 64,30%.
Konstituen indeks LQ45 dengan penurunan saham terdalam selanjutnya adalah PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT XL Axiata Tbk (EXCL), PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT Astra International Tbk (ASII), PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).
Kepala Riset Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardy mengatakan, penurunan saham LPPF disebabkan oleh sentimen kerugian yang dibukukan atas Mataharimall.com. Sebagai informasi, LPPF menginvestasikan Rp 769,77 miliar pada situs e-commerce yang diluncurkan pada 2015 ini.
Sayangnya, di tengah perjalanan, LPPF melakukan peninjauan kembali atas investasi ini dan menghasilkan pengakuan atas kerugian penurunan nilai sebesar Rp769,77 miliar yang telah diakui pada laporan laba rugi konsolidasian.
Kerugian penurunan nilai tersebut menekan laba yang dibukukan LPPF pada 2018 menjadi Rp 1,09 triliun atau turun 42% dari posisi 2017 yang sebesar Rp 1,9 triliun.
Sementara itu, penurunan harga saham PGAS disebabkan oleh adanya sentimen berupa instruksi pemerintah untuk menurunkan tarif dan margin distribusi gas.
Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Beleid tersebut memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melarang perusahaan distributor gas menjual gas dengan harga lebih dari US$6 per MMBTU untuk enam sektor industri yang banyak menggunakan gas, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Kemudian, menurut Robertus, penurunan harga saham emiten media terutama SCMA disebabkan oleh penurunan laba akibat kenaikan beban.
Memang, jika dilihat SCMA laba bersih turun dari mengalami penurunan dari 2015 ke 2016 dan 2017 lalu baru naik kembali pada 2018. Sementara itu, harga saham ITMG turun karena mendapat sentimen dari anjloknya harga batubara.
Meskipun begitu, Robertus mengatakan bahwa fundamental emiten-emiten di atas masih tergolong bagus. Akan tetapi, ke depannya, ia melihat masih banyak tantangan eksternal untuk bisnis emiten-emiten tersebut.
“Rekomendasi saham masih netral, tantangan masih berat seperti lima tahun sebelumnya,” kata dia saat dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (24/8).
Bernada serupa, Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony juga menyarankan investor untuk menghindari dulu saham-saham tersebut. “Belum ada tanda-tanda pembalikan arah dari saham-saham tersebut,” ucap dia.
Untuk emiten-emiten dengan penurunan kinerja saham terdalam selanjutnya,Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilanus Nico Demus mengatakan, saham EXCL turun karena adanya pembukuan kerugian pada 2018 sebesar Rp 3,30 triliun karena keperluan ekspansi dan lain-lain.
Berbanding terbalik dari tahun sebelumnya yang mencatatkan laba Rp 375 miliar. Berdasarkan catatan Kontan.co.id, hal ini disebabkan oleh adanya biaya penyusutan yang dipercepat karena pengurangan penggunaan jaringan 2G yang tekah dimatikan, dibongkar, dan usang atau tidak digunakan lagi, Langkah ini diambil karena XL Axiata akan fokus menggarap bisnis data dan menjadi penyedia internet seluler.
Selanjutnya, penurunan saham SMGR disebabkan oleh adanya kelebihan pasokan semen dan industri semen Indonesia yang akan menghadapi persaingan bebas ke depannya.
Sementara itu, menurut Nico saham ASII turun karena perusahaan ini kurang berinovasi dalam produknya. “ASII tidak pernah berbenah untuk membuat sesuatu produk otomotif yang baru, yang segar, dengan biaya terjangkau.Alhasil, ketika ada saingannya muncul dengan memberikan harga dan fitur yang lebih baik, ASII tidak bisa bersaing,” kata dia.
Kemudian, penurunan saham AKRA disebabkan oleh kinerja keuangan AKRA. Per semester I-2019, pendapatan AKRA menurun 13,37% year on year, dari Rp 11,21 triliun menjadi Rp 9,71 triliun. “Penurunan ini dipengaruhi oleh distribusi produk dan penurunan harga secara global untuk bahan kimia selama semester 1 lalu. Patut kita ingat bahwa 90% pendapatan AKRA berasal dari perdagangan dan distribusi,” kata dia.
Selanjutnya, penurunan harga saham BSDE disebabkan daya beli properti yang sempat lesu dari tahun lalu hingga pertengahan 2019. Ditambah lagi, adanya tren kenaikan suku bunga yang membuat pasar kurang bergairah.
Meskipun begitu, Nico melihat peluang kenaikan harga saham pada emiten-emiten tersebut. Untuk EXCL, ia melihat adanya perbaikan dari segi pendapatan dan laba pada paruh pertama tahun ini.
Selain itu, EXCL juga terus melakukan ekspansi yang terlihat dari peningkatan infrastruktur 4G dan persiapan jaringan 5G melalui fiberisasi, serta adanya penambahan jumlah pelanggan.
Menurut Nico, hal ini akan menjadi modal yang cukup baik bagi EXCL untuk semester 2-2019 dan untuk bersaing di bisnis ini.
Untuk SMGR, ia melihat secara jangka panjang, saham ini memiliki valuasi yang menarik. “Tapi penguasaan pasar diperlukan untuk saat ini, apalagi ke depannya sektor infrastruktur masih akan terus menggeliat, di mana industri semen mengambil bagian di dalamnya,” kata dia. Jika berhasil mengambil peluang ini, menurut Nico SMGR masih akan terus tumbuh selama lima tahun ke depan.
Secara teknikal, saham SMGR juga telah bangkit secara konsisten sejak Mei 2019 setelah sempat terjerembab sejak Juli 2018. Menurut dia, hal ini akan menjadi bekal bagi SMGR terus mengalami kenaikan.
Untuk ASII, ia juga melihat adanya peluang kenaikan karena adanya sentimen positif untuk sektor perkebunan akibat adanya perang dagang AS-China dan kebijakan pemerintah yang mendorong penggunaan biodiesel. Pasalnya, per semester I-2019, penurunan laba bersih ASII secara keseluruhan banyak disumbang oleh segmen komoditas perkebunan.
Selanjutnya, berbicara AKRA, Nico melihat emiten ini agak sedikit sulit pada tahun ini. “Tahun ini AKRA juga akan membantun 25 SPBU tapi sejauh ini baru memiliki 9 SPBU,” kata dia. Secara teknikal, saham AKRA juga cenderung fluktuatif meski menunjukkan tanda-tanda akan bangkit kembali.
Ia juga melihat peluang kenaikan saham BSDE. Hal itu didorong oleh pendapatan BDSE yang naik 15,38% secara tahunan per semester I-2019. Laba BSDE juga naik 411,37% year on yar pada paruh pertama tahun ini. “Laba tersebut berasal dari DIRE yang dilakukan terhadap Plaza Indoensia beberapa waktu lalu,” ucap dia.
Di samping adanya tanda-tanda yang dapat mendorong kenaikan saham-saham tersebut ke depannya, Nico juga mengatakan bahwa valuasi saham-saham tersebut sudah murah sehingga menjadi waktu yang tepat untuk berbelanja.
Ia merekomendasikan buy terhadap semua saham tersebut, dengan target harga akhir tahun untuk EXCL Rp 3.850, SMGR Rp 13.825, ASII Rp 8.000, AKRA Rp 4.900, dan BSDE Rp 1.750.
Meskipun begitu, ia mengingatkan investor bahwa isu perang dagang AS-China yang masih terus bergulir berpotensi menimbulkan gelojak bagi perekonomian global, termasuk Indonesia beserta pasar sahamnya.
Reporter: Nur Qolbi
Editor: Noverius Laoli
rumah kotor, berantakan, dan kurang nyaman? mungkin anda harus membersihkannya, klik cleaning service rumah jogja untuk mendapatkan pelayanan terbaik