Kerja mapan di Singapura dengan gaji relatif tinggi ternyata bukan impian Jay Jayawijayaningtiyas. Pria 31 tahun lulusan Nanyang Technology University Singapura ini memilih pulang ke Indonesiadan mendirikan perusahaan rintisan (startup) jasa rumah tangga bersama tiga temannya: Dimas, Adit, dan Christian. Mereka mengaku lebih bangga membangun bisnis sendiri ketimbang bergabung dengan perusahaan besar.
Menamai perusahaan mereka dengan “Ahlijasa”, empat sekawan ini ingin membangkitkan industri laundry di Indonesia agar naik kelas. Tekad memberikan kontribusi pada bisnis laundry pun berbuah manis. Ahlijasa pernah menyabet penghargaan sebagai juara ketiga pada ajang kompetisi Startup World Cup besutan perusahaan modal ventura Fenox Venture Capital. Sebelumnya, Ahlijasa menjadi pemenang Startuppedia ASEAN Challenge 2016.
“Kami pernah mewakili Asia Tenggara di Startup World Cup 2017, seperti piala dunia antar- startup dan ada babak penyisihan antarwilayahnya juga. Sebelumnya, kami juara di Asia Tenggara sehingga kami dikirim ke Silicon Valley dan mendapat juara ke-3. Di Tempo, kami juga mendapat Tempo Readers Choice 2017 sebagai startup favorit pembaca,” kata Jay bangga.
Ahlijasa didirikan pada September 2015. Kala itu, empat sekawan ini masih bekerja di Singapura. Setiap pulang ke Indonesia, ketiganya merasakan perbedaan antara di Indonesia dan Singapura. Salah satunya, soal penggunaan teknologi. “Kami terus mikir apa sih yang bisa kami perbaiki. Kebetulan, Dimasbackground-nya IT, dan Adit background-nya desain. Jadi, kami berpikir apa sihtalent-talent yang bisa kami gabungkan supaya kami bisa membuat sesuatu yang memberikan added value untuk orang-orang di Indonesia,” tutur pria kelahiran Bandung, 11 Agustus 1988 ini.
Waktu itu, baru booming Go-Jek dan Tokopedia. Jay melihat orang-orang sudah mulai belajar menggunakan smartphone bukan hanya untuk SMS dan telepon, tetapi juga untuk memesan Go-Jek, membeli makanan, membeli tiket pesawat, dan jual beli-barang. Harga ponsel pintar pun semakin murah. Dari situ, ia melihat potensi ponsel pintar sangat besar. Kemudian, mereka mendiskusikan berbagai masalah yang dihadapi dalam keseharian. Salah satu yang diamati waktu itu: laundry. “Kebetulan setiap pulang ke Jakarta, saya nyuci pakaian kelaundry terdekat. Hasilnya macam-macam, saya masukin 20baju ke laundry, balik hanya 18 pakaian, atau bahkan (masuk) laundry 20, balik lagi 23 pakaian, malah dapat bonus,” kata Jay sambil terkekeh.
Setelah dicari penyebabnya, ternyata boleh dibilang 99% operasional bisnislaundry itu masih manual. Misalnya, orang datang ke tempat laundry, lalu baju kotor ditimbang, dikasih nota. Kemudian, baju kotor itu dimasukkan kantong keresek, dan kereseknya disimpan di belakang. Masalah lainnya, baju tertukar, hilang, dan telat paling sering, dibilang tiga hari tapi sudah lebih dari tiga hari belum dikerjakan. “Maaf, belum, kereseknya nyelip di belakang,” ujar peraih gelar B.Eng dari Aerospace Engineering Nanyang Technology University Singapura ini mengungkapkan pengalamannya.
Intinya, bisnis laundry saat ini kebanyakan tergolong tradisional dan bisa jadi selama 20 tahun ke depan cara seperti itu tidak berubah. Kemudian, Jay dkk. berpikir bagaimana caranya membuat solusi untuk industri laundry di sini. Waktu itu, mereka mulai dari ritel dengan men-support pengusaha laundrykecil-kecil yang kiloan. Pihaknya menyediakan teknologi untuk mereka dan membuat aplikasi yang mengatur semuanya dari depan ke belakang, dan kebetulan pada saat awal berdiri, Ahlijasa fokus ke antar-jemputnya. Ahlijasa “mempersenjatai” para mitra laundry dengan sopir berteknologi sehingga bisa menjangkau konsumen di luar wilayahnya.
Setahun terakhir ini, pihaknya mengembangkan aplikasi untuk mengelolalaundry yang powerful. Misalnya, bagaimana caranya agar baju di laundry tidak tertukar, bagaimana cara mengetahui order, seperti mana pakaian yang dikerjakan dulu supaya tidak telat. “Rata-rata pekerja yang mengerjakan itu agak susah kalau mereka harus nyuci sekalian (memikirkan) strategi yang mana duluan. Jadi, lebih mudah jika sistem yang bilang, kerjain nomor ini dulu, mereka nanti kan langsung kerjain, dan ada fitur-fitur teknologinya juga itu supaya mencegah baju ketukar, baju hilang, bagaimana lebih transparan dengan customer, itu semuanya ada di situ,” kata Jayyang pernah bekerja di Merrill Lynch dan Macquarie ini.
Saat ini yang menggunakan aplikasi Ahlijasa sudah lebih dari 700 laundry yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bandung. Namun, kebanyakan mitralaundry-nya ada di Jakarta dan Tangerang. Adapun aplikasi untuk pelanggan Ahlijasa sudah diunduh oleh lebih dari 10 ribu pengguna.
Sumber aliran pendapatan Ahlijasa cukup banyak. Pertama, dari aplikasi. Kedua, dari pelatihan, Ketiga, dari komisi mengenalkan mitra laundry dengan hotel dan butik yang bekerjasama. Lalu keempat, dari penjualan bahan kimia dan mesin cuci yang dibutuhkan laundry, serta alat-alat laundry lainnya. “Ada juga pengusaha yang benar-benar baru buka laundry pingin dibikinin semuanya, itu kami bikinin juga, dan mereka mau pakai brand kami seperti franchise. Di Bandung itu sudah franchise kami,” ungkap Jay.
Bagaimana pertumbuhan bisnis Ahlijasa? “Model bisnis kami sempat berganti-ganti, tetapi dari enam bulan terakhir kami sudah tumbuh tiga kali lipat,” ujar Jay. Ia menjelaskan, modal awal mendirikan Ahlijasa adalah Rp 300 juta, hasil patungan dengan tiga temannya. Saat awal, Ahlijasa juga masuk GnB Accelerator yang membantu startup kecil seperti Ahlijasa saat itu. “Sekarang kami di-support investor. Dari AS ada dua, yaitu 500 Startups dan Fenox Venture Capital. Dari lokal ada Indogen Capital dan Kolibra Capital,” katanya. Karyawannya saat ini berjumlah 50 orang.
Bicara target dalam tiga tahun ke depan, pihaknya masih akan fokus di bisnislaundry. “Penetrasi market kami saja di Jakarta masih kecil, baru 700 laundrydan itu sangat sedikit. Di Jakarta kan banyak sekali, ada ribuan laundry. Kami maunya satu tahun ke depan menguasai pasar Jakarta Raya, Jabodetabek, kemudian baru setelah itu kami berpikir untuk ke kota-kota besar lainnya,” kata Jay mengungkap obsesinya.
Handito Joewono, CEO Arrbey Consulting, memberikan masukan agar bisnis Ahlijasa tetap bertahan dan berkembang. Selain harus punya programmer pengembangan software, juga perlu meyakinkan penyedia jasa laundry agar mau melakukan digitalisasi. Ini merupakan tantangan besar karena hanya sedikit perusahaan laundry yang sadar digitalisasi, banyak yang masih tradisional. Pasalnya, mereka belum terbiasa, belum tentu mereka disiplin. “Jadi, tantangan besarnya adalah mengubah kebiasaan para pengusahalaundry agar mau masuk ke digitalisasi. Ini juga ada kaitannya dengan memerlukan server yang besar dan modal yang besar,” kata Handito menegaskan.
Maka, Ahlijasa harus memantapkan sisi software-nya. Antara lain, dari sisi kemudahan konsumen untuk menggunakan. Keandalan platform digitalnya pun harus ditingkatkan. Juga, perlu siap menghadapi adanya kemungkinan pelanggaran cyber. Keandalan server dan aplikasi diperlukan agar bisa mengelola pesanan yang banyak.
Selain itu, bisnis seperti ini ketika menjadi spesialisasi platform digitalmemang mau tidak mau harus memiliki layanan. “Laundry itu di mana-mana sehingga dia harus mau membuka cabang atau bekerjasama dengan program software company yang memiliki kompetensi di bidang technical platform, di computer science-nya. Karena tanpa itu, dia susah menjangkau daerah-daerah sebab maunggak mau mereka juga harus meluas ke daerah-daerah,” kata Handito. Kemudian, karena Ahlijasa belum terlalu dikenal, branding marketing-nya juga harus kuat; harus rajin melakukan branding marketing dengan baik.(*)
Sumber : https://swa.co.id/youngster-inc/entrepreneur-youngsterinc/jasa-jay-jayawijayaningtiyas-besarkan-ahlijasa
Reportase: Vina Anggita
ingin rumah atau tempat tinggal anda bersih dan nyaman, segera hubungi jasa bersih rumah jogja untuk solusi terbaik